Cinta itu tak ada bentuk, tak mungkin bisa didengar, disentuh, dicium, dilihat. Karena itu semua maka tak salah jika beberapa orang coba mem-Bentuk-nya dalam kalimat; Cinta itu Kamu.
***
Seperti halnya gula yang tak sungguh mampu diterjemahkan rasa manisnya. Seperti hal itu pula cinta ada. Memang Gula itu manis, tapi seperti yang telah sudah-sudah, tak ada satu pun yang menerjemahkan manis itu apa dan bagaimana? Pun jika ada beberapa ilmuan menemukan rangkaian kimia dari rasa manis itu, tetap saja manis itu menjadi misteri yang kekal dimana hanya lidah yang tahu.
Atau kita coba menerjemahkan angin. Ini lebih jelas lagi akan ketidakbentukannya dimana hanya dalam asumsi kita mampu menerjemahkannya. Tapi hakikat angin sebenarnya apa? Seperti halnya manis Gula, kita hanya mampu merasanya tanpa pernah jelas akan bentuk aslinya dari manis. Mungkin ada yang bisa berujar jika angin itu seperti puting beling atau badai. Tapi itu bentuk setelah benda-benda lain bercampur di dalamnya, semisal rongsokan kapal, perabot rumah, atau mungkin ceceran oli traktor yang terlontar saat puting beliung melewatinya. Angin, tetap tak ada bentuk.
Tapi karena dasarnya manusia, terlepas dari begitu senangnya mendeskripsikan agar lebih menarik atau simpel. Tetap saja beberapa hal yang berkeliaran di sekitaran mereka tak sungguh mampu di deskripsikan secara detail. Karena bagaimanapun, seperti halnya manis yang memang termasuk kata sifat walau terlingkup dalam kata benda (gula), atau angin yang memang tak jelas juntrunganya dari mana, deskripsi itu penting, walau dalam ketidaklengkapannya yang sangat jelas.
Sama halnya cinta. Walau banyak kaum Sufis berujar jika cinta adalah ketiadabatasan bentuk, ketiadabatasan waktu, dan ketiadabatas lainya. Namun untuk otak awam manusia dimana bentuk adalah ukuran dari keberadaan, terlepas dari mereka penganut Filsafat Materialisme Dialektika Historis Marx. Jadi, bukan tentang salah atau benar, hanya saja terkadang ada baiknya jika cinta itu bisa dilihat dalam rupa, warna, didengar dalam suara, dan dirasa lidah. Bukankah dalam bentuk sesuatu kadang bisa kita rasa sisi emosinya? Misal jika kita marah kita bisa menimpuk ‘cinta’ dengan sepatu kita, atau saat sedih kita bisa meminta ‘cinta’ bernyanyi walau fals total.
Pun jika pada akhirnya kita beranggapan jika cinta ada baiknya tetap dalam ketiadabatasannya, dimana kita berasumsi jika deskripsi adalah batasan. Mungkin cinta itu bisa diartikan seperti; kata kerja yang aktif. Sesuatu yang bergerak, berkarya, dan mencipta. Ya, sesuatu yang bisa diasumsikan dalam kata yang pernah kubaca jika cinta; memberi tanpa mengharap, memberi tanpa mengambil. Sebuah simbolisasi yang tak berbeda dengan –kata kerja yang aktif- bukan?
Cinta, membahas satu kata ini memang takan pernah berkesudahan, terlebih lagi tak pernah ada satu deskripsi tetap tentangnya, pun jika ada sekedar mirip dan hampir mirip. Dan buatku yang masih awam tentang cinta, lebih-lebih mencintai, tetap saja deskripsi cinta itu menjadi penting, karena aku mahluk yang masih melihat sesuatu dalam bentuk, cintaku masih meraba dalam keberadaan.
“Cinta itu kamu, dimana dengan itu cinta bisa kusentuh, kudengar, kucium, kulihat, dan lain sebagainya”. Kalimat yang pernah kuutarakan pada seorang teman beberapa tahun yang lalu, dan kami tertawa. Tapi pada akhirnya kita sadar, bentuk menjadikan cinta itu rapuh, karena tak satupun yang ‘benda’ itu tetap dan kekal, pasti berubah dan menua. Namun jika ada yang telah berubah dan menua tapi memiliki rasa yang tetap sama seperti ketika ‘benda’ itu masih muda, pak Mario Teguh biasa menyebutnya; Kesadaran untuk tetap menyayangi. Dan manusia memiliki itu.
Jadi apakah deskripsi itu penting? Apalagi sampai menyebut ‘Cinta itu kamu’. Itu hak pribadi tiap orang untuk merespon cinta itu apa. Yang terjelas dari semuanya; cinta itu tak diam dan mengisi apa yang belum terisi.***
I n U.....PityMity
0 komentar:
Posting Komentar